Kasus Pencurian di Banyuasin Berakhir Damai di Kejagung

kalbi Hamdani
8 Mar 2025 02:56
3 menit membaca

MorotaiPost-Jakarta
Sebanyak 5 permohonan penyelesaian perkara dengan mekanisme Keadilan Restoratif di Kejaksaan Agung RI telah disetujui melalui tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidum). Salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme ini adalah kasus pencurian di Musi Banyuasin.

Keesokan harinya, pada Sabtu, 21 Desember 2024, tersangka menggadaikan kedua handphone tersebut dengan nilai yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti membayar ongkos ojek dan membeli obat untuk anaknya. Akibat perbuatannya, saksi Sudirman bin Sumar mengalami kerugian sebesar kurang lebih Rp702.000.

Setelah melalui proses perdamaian, tersangka mengakui kesalahan dan meminta maaf, sementara saksi korban setuju untuk menghentikan proses hukum. Kepala Kejaksaan Negeri Musi Banyuasin kemudian mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, yang disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis, 6 Maret 2025.

Pemberhentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara ini dilaksanakan berdasarkan:

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 beserta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022,

yang mengatur tata cara penghentian penuntutan melalui mekanisme restoratif sebagai bentuk kepastian hukum dan penyelesaian perkara secara musyawarah.

Dalam keterangannya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Dr. Harli Siregar, S.H., M.Hum., menyatakan “Penerapan keadilan restoratif pada kasus pencurian ini merupakan langkah inovatif untuk menyelesaikan perkara dengan dampak sosial yang relatif ringan, di mana pelaku telah menunjukkan itikad baik melalui permohonan maaf dan kesediaannya untuk memperbaiki diri. Kami berharap mekanisme ini dapat terus dijadikan alternatif penyelesaian perkara yang tidak hanya menimbulkan efek jera, tetapi juga memberikan kesempatan rehabilitasi bagi tersangka.”

Komentar yang beredar di dunia maya pun memberikan respon positif terhadap penerapan mekanisme keadilan restoratif dalam kasus ini. Beberapa pakar hukum menyambut baik langkah tersebut. Menurut Prof. Dr. Fadli, seorang ahli hukum pidana “Restorative justice memberikan solusi yang humanis dan aplikatif dalam menyelesaikan konflik hukum yang tidak selalu memerlukan paksaan hukum yang berat. Dengan pendekatan ini, korban mendapatkan keadilan melalui pemulihan hubungan sosial, dan pelaku mendapat kesempatan untuk bertaubat.”

Di sisi lain, reaksi netizen di media sosial mencerminkan dukungan terhadap pendekatan yang lebih mengedepankan dialog dan musyawarah dalam penegakan hukum. Banyak komentar menyatakan bahwa mekanisme ini dapat mengurangi beban sistem peradilan dan mempercepat penyelesaian perkara, asalkan dijalankan dengan transparansi dan akuntabilitas.

Namun, beberapa pihak juga mengingatkan agar penerapan keadilan restoratif tidak disalahgunakan untuk kasus-kasus yang lebih berat, dan harus tetap memperhatikan kepentingan korban serta prinsip keadilan yang berlaku.

Penerapan keadilan restoratif pada kasus pencurian di Musi Banyuasin menjadi salah satu contoh nyata upaya modernisasi sistem peradilan di Indonesia. Dengan dasar hukum yang kuat serta dukungan dari pejabat tinggi dan pakar hukum, mekanisme ini diharapkan dapat menjadi model penyelesaian perkara yang lebih efisien dan bersahabat, sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum. (tim)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x