Enam Perkara Di Kejaksaan Agung Disetujui Diselesaikan Lewat Restorative Justice, Termasuk Kasus Penadahan di Aceh

kalbi Hamdani
14 Mar 2025 09:44
3 menit membaca

MorotaiPost-Jakarta
Enam perkara di Kejaksaan Agung RI permohonan penyelesaian nya disetujui melalui mekanisme Restorative Justice (RJ), dan salah satunya adalah kasus penadahan di Aceh yang melibatkan tersangka Nazaruddin bin Zainuddin dari Kejaksaan Negeri Aceh Utara.

Saat transaksi, Nazaruddin sempat curiga dan bertanya kepada Zulkifli apakah AC tersebut hasil curian, tetapi tidak mendapat jawaban yang jelas. Karena tergiur harga murah, ia tetap membeli barang tersebut. Setelah penyelidikan, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dan disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.

Menimbang situasi dan adanya niat baik dari tersangka, Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Utara Teuku Muzafar, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum Oktriadi Kurniawan, S.H., dan Jaksa Fasilitator Harri Citra Kesuma, S.H., menginisiasi penyelesaian kasus melalui Restorative Justice. Tersangka telah meminta maaf dan korban bersedia memaafkan serta meminta agar perkara tidak dilanjutkan ke persidangan.

Setelah melalui kajian, Kejaksaan Tinggi Aceh mengajukan permohonan penghentian penuntutan ke JAM-Pidum, yang akhirnya menyetujui penghentian perkara dalam ekspose virtual.

Lima Perkara Lain yang Disetujui untuk Restorative Justice yaitu: Selvi Salim alias Epi (Kejari Morowali Utara) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP (Penganiayaan),
Ismail Marjuki bin Idris (Kejari Samarinda) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP (Penganiayaan),
Adi Sakti alias Adi (Kejari Donggala) – Pasal 362 KUHP (Pencurian),
Imran alias Uwo (Kejari Donggala) – Pasal 362 KUHP jo. Pasal 56 Ayat (1) KUHP (Pencurian dengan peran membantu),
I Yola Herniasih & Dyna Eva Adrence Tulandi (Kejari Balikpapan) – Pasal 170 Ayat (1) KUHP atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 KUHP (Pengeroyokan/Penganiayaan).

Keenam perkara ini memenuhi syarat Restorative Justice, yaitu:
Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan maaf.
Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun.
Perdamaian dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan atau intimidasi.
Masyarakat merespons positif penyelesaian ini.

JAM-Pidum meminta para Kepala Kejaksaan Negeri yang menangani perkara ini untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022.

“Restorative Justice adalah bentuk keadilan yang memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat, daripada sekadar menjatuhkan hukuman. Oleh karena itu, kami memastikan bahwa mekanisme ini diterapkan dengan penuh kehati-hatian dan tetap berpihak pada kepentingan korban serta keadilan sosial,” ujar JAM-Pidum.

Dengan disetujuinya enam perkara ini, Kejaksaan Agung menegaskan komitmennya dalam menegakkan hukum yang berkeadilan, humanis, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. (tim).

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x